18 Tahun FDR Indonesia menjadi bukti bahwa radio masih memiliki tempat istimewa di hati pendengarnya.
Sejak lahir pada 17 November 2007, Forum Diskusi Radio (FDR) Indonesia hadir sebagai rumah bagi insan radio dari penyiar, produser, praktisi media, hingga pendengar setia.
Forum ini lahir bukan sekadar wadah diskusi, melainkan juga gerakan yang menjaga nyala semangat radio di tengah perubahan zaman.
Pada 2007, empat tokoh Harley Prayudha, Herru Soleh, Bonny Prasetya, dan Agung Prasetyo melihat ada kebutuhan besar bagi dunia radio: ruang untuk berbagi pengalaman, gagasan, dan strategi. Dari kegelisahan itulah FDR lahir.
Di masa awal, FDR lebih banyak menggelar diskusi kecil. Lokasinya sederhana, kadang di kafe atau studio radio.
Ketika dunia digital mulai mengubah wajah media pada pertengahan 2000-an, radio sempat dipandang “usang.” Namun, justru di momen itu, Harley Prayudha, Herru Soleh, Bonny Prasetya, dan Agung Prasetyo melahirkan Forum Diskusi Radio Indonesia (FDR).
Harley Prayudha, salah satu pendiri, pernah berujar: “Kami percaya radio itu bukan sekadar hiburan. Ia adalah suara yang bisa menyatukan. FDR hadir supaya orang-orang radio punya rumah untuk berbicara dan saling menguatkan.”
Pada 17 November 2007, Forum Diskusi Radio Indonesia resmi lahir. Empat tokoh pendiri yaitu Harley Prayudha, Herru Soleh, Bonny Prasetya, dan Agung Prasetyo sepakat membangun wadah untuk menyatukan para insan radio. Forum ini lahir dari keresahan: radio butuh ruang bertukar pikiran agar tetap relevan.
“Radio itu tidak boleh jalan sendiri-sendiri. Harus ada rumah bersama,” kata Harley Prayudha saat mengenang masa awal pendirian.
Tahun-tahun awal diwarnai dengan diskusi kecil namun intens, sering kali berlangsung di kafe, studio radio, yahoo milis. FDR menjadi ajang curhat penyiar muda dan berbagi pengalaman dari penyiar senior. Dari obrolan sederhana itu lahir gagasan besar: radio Indonesia harus ikut dalam perubahan digital.
FDR makin dikenal di kalangan penyiar, produser, dan pegiat radio. Workshop tentang teknik penyiaran, managemen, hingga pengelolaan program menarik banyak peserta. Forum ini juga menjadi ruang lintas generasi muda dan senior bertemu dalam suasana egaliter.
Ketika media sosial dan streaming mulai mengubah perilaku pendengar, FDR tak tinggal diam. Diskusi-diskusi intens soal “Masa Depan Radio di Era Digital” digelar, menekankan bahwa radio perlu beradaptasi dengan teknologi tanpa kehilangan jati diri.
Radio mulai berdampingan dengan podcast, YouTube, dan platform digital lain. FDR mendorong kolaborasi lintas medium. Sejumlah seminar membahas strategi branding penyiar, monetisasi konten, hingga integrasi radio dengan media sosial.
“Radio itu fleksibel. Justru di era digital, suaranya bisa melintasi batas,” ujar Bonny Prasetya.
Pandemi COVID-19 memaksa banyak aktivitas pindah ke ruang virtual. FDR cepat beradaptasi dengan menggelar diskusi online. Topik-topik seperti “Radio di Masa Krisis” menjadi sorotan. Pandemi membuktikan bahwa suara radio bisa menjadi teman setia di masa penuh ketidakpastian.
FDR mulai merangkul generasi muda yang lebih akrab dengan TikTok, Instagram, dan podcast. Forum ini menghadirkan diskusi tentang bagaimana radio bisa menarik Gen Z tanpa kehilangan kekuatan khasnya: kedekatan emosional dengan pendengar.
FDR semakin mantap dengan identitas sebagai “rumah bersama” insan radio. Kegiatan tidak lagi hanya seputar teknik siaran, tapi juga membahas isu kebijakan, perkembangan teknologi audio, hingga strategi membangun bisnis radio berkelanjutan.
Tahun 2025 menjadi momentum penting. FDR bekerja sama dengan PD PRSSNI Jakarta untuk menggelar FDR Summit 2025 pada November. Acara ini dijanjikan berbeda: lebih segar, lebih kolaboratif, dan penuh kejutan.
“Ngumpul, Ngulik, Nge-Boost Radio di Era Digital” bukan sekadar tagline, melainkan semangat untuk memastikan radio Indonesia tetap punya ruang bersuara di tengah revolusi digital.
FDR Indonesia membawa misi besar yaitu memajukan dunia radio. Tujuan itu diwujudkan dengan mengangkat isu-isu relevan, mulai dari kualitas siaran, pengembangan konten kreatif, profesionalisme penyiar, hingga peluang kolaborasi lintas industri.
Herru Soleh menambahkan, “Kalau kita tidak saling berbagi ilmu, radio akan jalan di tempat. Forum ini dibuat untuk memastikan radio tetap bergerak maju bersama-sama.”
Bagi sebagian orang, radio mungkin kalah populer dibanding media sosial atau podcast. Namun, bagi FDR, radio justru punya kekuatan unik: kedekatan.
Suara penyiar yang akrab, interaksi spontan lewat telepon, hingga lagu yang diputar di momen tertentu, semua menghadirkan kedekatan emosional yang tak bisa digantikan algoritma digital.
Bonny Prasetya menegaskan, “Radio itu soal rasa. Orang bisa lupa wajah penyiar, tapi suara yang menemaninya di malam sepi atau saat macet di jalan, itu akan terus diingat.”
Salah satu kekuatan FDR adalah kemampuannya menyatukan generasi. Penyiar senior berbagi pengalaman tentang dinamika siaran, sementara generasi muda membawa gagasan baru, seperti integrasi radio dengan media sosial, streaming, atau podcast.
Agung Prasetyo menyebut, “Kami tidak mau radio terjebak nostalgia saja. Forum ini bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi juga menyiapkan masa depan.”
Yogyakarta dipilih sebagai kota pertama FDR Summit. Suasananya hangat, penuh energi, dan menjadi titik tolak perjalanan panjang forum ini.
FDR Summit 2 Surabaya tahun 2009 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perjalanan Forum Diskusi Radio (FDR) Indonesia. Mengusung semangat “Dinamika Radio Lokal dan Tantangan Inovasi Konten”, forum ini membuka percakapan besar tentang bagaimana radio lokal bisa bertahan, bersaing, dan terus relevan di tengah gelombang perubahan dunia media.
FDR Summit 3 Bandung tahun 2010 menjadi babak baru perjalanan Forum Diskusi Radio (FDR) Indonesia. Dengan tema “Leading and Flowing in the Wave of Competition”, forum ini menghadirkan semangat untuk tidak hanya memimpin, tetapi juga beradaptasi di tengah gelombang persaingan media yang makin deras.
FDR Summit 4 tahun 2011 di Bogor menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan Forum Diskusi Radio Indonesia. Dengan tema “Creating Value, Managing Competition”, forum ini menggugah kesadaran para pelaku radio untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga menciptakan nilai baru agar tetap kompetitif di tengah persaingan media yang semakin kompleks.
FDR Summit 5 tahun 2012 di Semarang mengangkat tema besar “Survive in the Wild of Media Competition”. Tema ini menjadi refleksi atas realitas dunia penyiaran kala itu—di mana radio harus berjuang keras di tengah rimba persaingan media yang semakin liar, cepat, dan penuh kejutan.
FDR Summit 6 tahun 2013 di Solo mengangkat tema besar: “Struggle in Communication Revolution”. Tema ini merefleksikan kegelisahan sekaligus semangat pelaku radio menghadapi derasnya perubahan komunikasi di era digital. Saat itu, industri radio Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana bertahan dan berkembang ketika masyarakat mulai beralih ke media online, media sosial, dan gadget pintar.
Kota Batu, Jawa Timur, menjadi tuan rumah <strong style="margin: 0px; padding: 0px; border: 0px; font-style: inherit; font-variant: inherit; font-weight: bold; font-stretch: inherit; font-size: inherit; line-height: inherit; font-family: inherit; font-optical-sizing: inherit; font-size-adjust: inherit; f