Home > Berita & Event > SKS 29 & 30 APRIL FKIP UKSW SALATIGA
SKS 29 & 30 APRIL FKIP UKSW SALATIGA
Admin - Mei 03, 2020

Pada hari rabu & kamis, 29-30 April 2020 Siaran Kuliah Sore menghadirkan narasumber dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UKSW, antara lain Gamaliel Septian Airlanda (PGSD), Maria Melita Rahardjo (PGPAUD), Galuh Ambar Sasi (Pendidikan Sejarah). Dengan tema “Implementasi Tiga Sudut Pandang Pendidikan Gaya Kartini Untuk Masyarakat Modern”.

“Selama ini masyarakat Indonesia memandang bahwa Kartini merupakan tokoh feminis yang memperjuangkan hak-hak wanita, padahal dibalik itu semua ada misi besar yang dilakukan oleh Kartini yaitu ingin memajukan pendidikan masyarakat Jawa di masa itu”

Galuh yang merupakan dosen pendidikan Sejarah mengatakan bahwa masa pendidikan pingit Kartini terjadi karena pada awal tahun 1900an, Jawa dan Madura juga sedang mengalami masa pandemi, dimana wabah kolera marak terjadi, dan berbagai jenis penyakit lainnya akibat pagebluk/bencana alam termasuk didalamnya letusan gunung Kelud. Selain itu juga dijelaskan bahwa Kartini juga mendirikan sekolah dengan murid-murid yang datang dengan pola jam pembelajaran yang sudah diatur yaitu dimulai dari jam 8.30 dan diakhiri pada 12.30, dan materi yang juga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di masa itu, seperti membaca, menulis, memasak, merenda, menjahit, dan sebagainya. Bahkan dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartini menuliskan bahwa murid-muridnya mempersiapkan diri dalam pembelajaran dengan keadaan berpakaian bersih, dan mereka dibebaskan untuk memilih dan membaca buku pelajaran yang mereka gemari dan ingin baca. “Ini merupakan suatu hal yang sangat relevan dengan kondisi pembelajaran di Indonesia saat ini, dimana kita dituntut untuk selalu menjaga kebersihan dalam masa pandemi ini dan juga program merdeka belajar yang sedang di jalankan menteri pendidikan kita” imbuhnya. 

Gamaliel dari PGSD menjelaskan bahwa kondisi pendidikan di masa pemdemi ini rentan sekali dengan hilangnya kedekatan emosi antara guru dan siswa. Kondisi ini mirip dengan pendidikan masa pingit  di era Kartini. Sesuai dengan ilmu biopsikologi yang ditelitinya, Gamaliel menjelaskan bahwa dampak utama dari keadaan ini adalah berkurangnya rangsangan sensorik manusia kepada manusia lain yang dapat menimbulkan lemahnya motorik, penurunan kualitas sosial hingga kehidupan yang monoton. Kehidupan semacam itu telah dialami Kartini pada zamannya. 

Dalam kesempatan tersebut, Melita yang memiliki minat terhadap critical thinking, menghimbau supaya para tenaga pendidik mengembangkan pemikiran kritis siswa demi menangkal dampak buruk dari berkurangnya kualitas sensorik motorik. Karena hal ini sering terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia selama ini. Banyak kegiatan pembelajaran yang dibuat tanpa tujuan yang jelas. Salah satu cara untuk dapat mengembangkan pembelajaran berkualitas adalah dengan menggunakan sumber yang asli dan lengkap ketika memberikan penjelasan terhadap materi yang akan diberikan kepada peserta didik. “Agar tidak ada lagi kesalah-pahaman persepsi yang dimiliki oleh masyarakat secara turun-temurun, supaya pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik juga semakin kaya” terangnya. Berpegang pada prinsip Kartini, pemikiran kritis telah diterapkan pada aspek kurikulum di sekolahnya. Prinsip tersebut meliputi: kecerdasan budi dan pikir, pendidikan yang sepadan, pendidik untuk mengembangkan budaya dan seni, hingga pembentukan watak